Zoetmulder , Pendeta Belanda yang nJawani
Zoetmulder, Pendeta Belanda yang nJawani
Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder S.J. memang bukan orang Jawa tulen. Namun kegigihannya untuk mempelajari Sastra Jawa Kuna membuatnya nJawani. Bahkan, karyanya seperti Kamus Jawa Kuna - Indonesia dan Kalangwan, menjadi kitab penuntun bagi sarjana atau siapapun yang ingin menggali kesusastraan Jawa kuna.
Zoetmulder atau kerap dipanggil Romo Zoet (1906-1995), mungkin asing ditelinga orang yang tak belajar Sastra Jawa. Namun dari sosok ini kita diajarkan untuk sungguh-sungguh dan mencintai Sastra Jawa.
Hal itu diungkapkan oleh Kartika Setyawati (61), staf pengajar Prodi Sastra Jawa, Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Ia mengaku tak teramat dekat dengan Romo Zoet, namun kesan disiplin yang masih sangat jelas tercetak dalam memorinya.
"Dulu sewaktu saya masih belajar di UGM, saya sering berkunjung ke Kemetiran untuk meminjam buku-bukunya. Waktu itu ia sedang mengerjakan kamus Bahasa Jawa Kuna. Romo sangat ketat dalam urusan waktu, ia bekerja mulai jam 09.00 tepat dan berhenti pukul 12.00 WIB. Dan dia sangat serius, jarang bicara," kenang Kartika.
Begitu ketatnya jadwal yang dibuat oleh Zoetmulder, hingga Kartika bisa memastikan bahwa tepat pada pukul 11.00 WIB, sang profesor pasti menyempatkan diri untuk istirahat. Menurutnya, pisang ambon dan kue-kue tart menjadi kegemaran Romo yang lahir di Utrech, Belanda itu.
Selain itu, Romo sangat mencintai dan hafal betul tentang koleksi bukunya. Dikatakan Kartika, ketika ia akan meminjam, hanya Zoetmulder yang tahu letak bukunya. Hal itu karena, penyusunan ribuan buku tersebut, menggunakan patokan yang dibuat sendiri oleh sang empunya.
Bahkan, Kartika melanjutkan, jika ada satu buku Zoetmulder yang tidak kembali setelah dipinjam, kadangkala ia menjadi gelisah dan tak bisa tidur. Dalam bidang Sastra Jawa Kuna, Dosen UGM itu memaparkan hingga kini karyanya masih kerap menjadi rujukan bagi para mahasiswanya.
Bidang yang ditekuni oleh Zoetmulder tergolong sulit. Perlu waktu berpuluh-puluh tahun bagi romo untuk menyusun karyanya.
"Hal itu karena Romo Zoet mengerjakannya secara manual. Dalam penyusunan kamus misalnya, ia harus melihat kata per kata, yang dihubungkan keberadaan kata tersebut di naskah Jawa Kuna," tutur dia.
Disamping itu, Jasa Zoetmulder yang lain adalah sebagai seorang yang ikut mendirikan Fakultas Sastra UGM. Ia disebut Kartika sebagai Sapta Resi (Tujuh Resi) pendiri fakultas tersebut.
"Belajar Sastra Jawa Kuna sama halnya memperkuat jati diri dan identitas kita sebagai bangsa. Dengan mempelajarinya, kita juga bisa menerapkannya pada disiplin lain. Pakaian pada seni panggung misalnya," ujar Kartika.
Warisan Zoetmulder
Zoetmulder menanggalkan kewarganegaraan Belanda dan menyandang status WNI di tahun 1951. Kartika menyebut Romo Zoet lebih sering menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi meski tak bisa lepas dari logat Eropa.
Meninggal di tahun 1995, ribuan buku warisan Zoetmulder kini disimpan di ruang koleksi khusus Artati, Perpustakaan Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta. Disana turut disimpan buku milik ahli lingusitik Verhar dan Guru Besar UGM Sartono. Selain koleksi pustaka, Romo Zoet juga meninggalkan beberapa almari, penimbang kertas, kacamata dan pelbagai barang yang terkait dengan usahanya menyelami Sastra Jawa Kuna.
"Artati sendiri artinya manis. Kata itu juga sering digunakan romo dalam sandi asma (penyematan nama pengarang yang terselubung) pada beberapa tembang macapat. Zoet pada namanya sendiri berarti sama dengan Artati," ungkap Yohannes Widodo staf koleksi khusus Artati.
Dikatakannya, koleksi pustaka milik Zoetmulder yang sudah bisa dipinjam berjumlah 4.843 buah. Jumlah itu belum termasuk naskah yang masih berbentuk lontar dan memerlukan proses pemindahan ke media, baik digital maupun konvensional.
Menurut Widodo, Zoetmulder diberi penghargaan kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma, oleh pemerintah Joko Widodo. Hal itu karena kesungguhannya memelajari Sastra Jawa Kuna, dan menghasilkan karya kamus Jawa kuna.
Selain Romo Zoetmuder, ada tujuh orang lagi yang menerima penghargaan tersebut, yakni Mustofa Bisri sebagai pengurus ponpes Raudlatuh Tholibin, Goenawan Soesatyo Muhammad sastrawan sekaligus budayawan, Wasi Jolodoro atau Ki Tjokrowasito (almarhum) komposer musik Karawitan Jawa dan pendukung sendratari Ramayana. Adapula Hoessein Djajaningrat (almarhum) sebagai pelopor tradisi keilmuan, Nursjiwan Tirtaamidjaja (almarhum) perancang busana dan batik serta Hendra Gunawan (almarhum) yang merupakan pelukis dan pematung serta Wiryoatmojo (almarhum) seorang arsitek.
Adapun beberapa judul pustaka Zoetmulder antara lain, "Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa", Kalangwan, A Survey of Old Javanese Literature (1974), "Sekar Sumawur, Dewamanusaraksadadi. Bunga Rampai Bahasa Djawa Kuna,I (1958), Old Javanese-Enlish Dictionary,2 jilid bersama SO Robson (1982).
Meninggal di Yogyakarta, Zoetmulder dimakamkan di Kerkof Romo Sanjaya yang berada di Jl Kerkof, Muntilan, Magelang-Jawa Tengah. Ia beristirahat dengan tenang dalam kompleks makam bersama Kardinal Indonesia pertama Justinus Card Darmojuwono.
Menurut penjaga makam tersebut, Paulus Mursid (37), kompleks tersebut ramai dikunjungi peziarah bukan hanya dari Magelang saja.
Pada nisannya tertulis sebuah kalimat dalam Bahasa Jawa Kuna "Wiku haji Jenek Anher in sunya" yang diambil dari pupuh 28, bait 11 kakawin Sumasantaka, yang berarti Pendeta Raja dengan nyaman bersemayamkan di ketiadaan. (*)
- Foto Repro, Koleksi khusus Artati perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar