Jalan Sepi Pak Sur Menekuni Sastra Jawa
Berkunjung ke rumahnya, sebuah kotak surat lawas bertuliskan Suryadi WS seolah menyambut pewarta Tribun Jogja, Minggu (29/11). Begitu mengucap salam, sang empunya rumah kemudian mempersilakan duduk di sebuah kursi dari kayu jati. Tak beberapa lama, Pak Sur lantas memberikan jabatan erat dan mulai bercerita tentang proses kreatifnya.
"Saya ini dulunya seorang guru dengan status pegawai negeri namun mengajar di SMEA Muhammadiyah Klaten. Kini setelah pensiun sejak tahun 2000, saya masih aktif menulis. Bahkan cerita bersambung (cerbung) saya berjudul Mulih nDesa masih terpacak di sebuah majalah berbahasa Jawa," katanya.
Meskipun memeroleh uang pensiunan dari statusnya sebagai guru, namun ia mengaku masih sempat macul (bertani) di dua lahan sawah yang kini siap ditanami padi. "Ya untuk mengimbangi saja, bekerja di sawah agar tak terjangkit penyakit. Kalau menulis sebagai sarana melatih otak agar tidak pikun," tambahnya.
Pak Sur mengaku, kegiatannya dalam tulis menulis sastra Jawa dimulai pada saat usianya 19 tahun. Ketika duduk di bangku SMA I Solo, ia mengirimkan dua buah cerpen ke majalah kekasihku. Begitu termuat, ia menyadari ada bakat menulis yang diturunkan dari sang ayah Warno Sukarjo yang kala itu sangat menggemari dunia sastra Jawa Klasik.
Hal itu disadarinya juga karena semenjak SMA hingga kuliah, ia mengaku tidak pernah mengenyam pembelajaran sastra. Pada saat itu ia mengambil jurusan ilmu pasti alam di sekolah menengah, dan melanjutkan ke sekolah tinggi kesehatan jurusan sanitasi.
Semenjak itu, ia mulai berani mencoba mengikuti berbagai sayembara penulisan sastra Indonesia ataupun Jawa. Beberapa kali ia sempat menjuarai dua kategori lomba tulis menulis itu. Namun kehendak hati menuntun Pak Sur menyelami Sastra Jawa lebih dalam.
"Meskipun honornya lebih tinggi mengarang sastra Indonesia, namun saya lebih tertarik mendalami dan menekuni Sastra Jawa. Dulu saya pernah nulis cerpen berbahasa Indonesia diberi honor Rp 300, sementara yang berbahasa Jawa hanya Rp 70, namun karena saya lebih senang nulis Jawa, makanya saya tekuni sampai sekarang," imbuhnya.
Setelah bercerita tentang masa awal kepenulisannya, Pak Sur kemudian berkenan menunjukan ruang kreatifnya. Lalu ia mengajak pewarta Tribun Jogja menengok kamar berukurang 5 x 8 meter tempatnya berkreasi. Di sebuah meja besar, yang bersanding dengan dipan, almari dan sebuah rak buku, ia mengaku sering lupa akan waktu, ketika menulis.
"Tidak ada waktu khusus untuk menulis, siang seperti ini kalau lagi ada ide saya ya langsung menuangkannya ke secarik kertas, sampai semuanya tercurah atau kalau capek ya berhenti. Kadang sampai jam dua pagi," katanya.
Disinggung masalah ide, ia mengatakan semuanya didapatnya dari hasil perenungan ketika dirinya melihat realitas di sekitarnya. Ketika selesai dengan tulisan tanganya, ia lantas membawa kertas-kertas itu menuju sebuah tempat pengetikan di Desa Karanganom, Kecamatan Klaten Utara. Disana Pak Sur mengaku sudah memiliki tukang ketik komputer langganan yang dipercaya menyalin karyanya.
Baru kemudian, naskah-naskah tersebut dikirim ke redaktur majalah berbahasa Jawa.
Sastra Jawa Akan Bangkit
Pak Sur tidak menampik akan realitas lesunya sastra atau budaya Jawa. Namun demikian, ayah empat anak itu yakin suatu saat bangsa Indonesia akan kembali pada nilai tradisi ketimuran.
"Saya simpulkan hal itu berkaca pada negeri Jepang. Mereka dulu sempat haus akan teknologi dan budaya barat, akan tetapi tak lama setelahnya mereka akan menyadari bahwa budaya milik diri sendiri tetaplah harus dilestarikan. Indonesia, khususnya Jawa juga akan begitu. Namun saya tidak tahu kapan itu terjadi, dan apakah saya bisa melihatnya saya tidak tahu," ungkap Suryadi Warno Sukarjo, yang baru merayakan ulang tahunyya ke 77, 25 November lalu.
Kepada generasi muda, ia kemudian memberikan wejangan agar bangga terhadap kebudayaan sendiri. Hal itupun dapat diterapkan dalam karya sastra. Pak Sur mengaku membaca semua karya sastra dari dalam maupun luar negeri, namun ia mengatakan tidak memiliki pengarang idola.
"Jangan meniru orang lain, karena apa yang menurut seseorang itu baik belum tentu berlaku demikian bagi diri sendiri. Kalau cerita dari luar negeri macam pengarang Ernst Hemingway, Leo Tolstoy, saya membacanya, tapi saya ingin lebih dari mereka. Membuat cerita sendiri sesuai apa yang saya lihat di masyarakat dan renungkan lalu menulisnya sesuai kaidah orang Jawa yang penuh dengan bahasa simbol atau pasemon," katanya.
Selain mengarang, Pak Sur mengaku memiliki kemampuan lain dalam kesenian Wayang Sadat. Dari kesenian tersebut, ia mengatakan sudah banyak pentas diberbagai daerah. Namun karena faktor usia, kini ia tidak lagi melakoni kegiatan tersebut.
Sebelum memungkasi obrolan, ia berpesan agar para pegiat sastra dan pemerintah ikut memperhatikan perkembangan susastra Jawa. Hal itu menurutnya bisa dilakukan dengan memperbanyak subsidi untuk penerbitan karya sastra. Hal itu menurutnya akan mengembangkan dan memberikan pengarang sastra ruang untuk memublikasikan karyanya.
"Dengan hal itu, harapannya akan lebih banyak distribusi ke sekolah-sekolah. Pada akhirnya, siswa mendapat akses untuk membaca karya sastra Jawa, dari situ diharapkan minat baca akan sedikit demi sedikit muncul. Daripada mengadakan kongres yang menghabiskan miliaran rupiah, lebih baik uangnya untuk hal tersebut," pungkas Pak Sur. (Padhang Pranoto)
Komentar
Posting Komentar